Langsung ke konten utama

Standar Pencahayaan Ruang Dalam

Sejarah perkembangan arsitektur di Indonesia, utamanya dalam koridor modern, tidak akan lepas dari intervensi unsur-unsur ‘luar’ dan pengaruh-pengaruh jaman dalam abstraksi yang rumit, komplek, penuh dengan koherensi, fragmentasi dan ambivalensi sekaligus. Hal ini bukan merupakan sesuatu yang asing lagi bagi sebuah negara bekas (dan masih?) jajahan seperti Indonesia. Dalam hal ini, kompleksitas yang lahir dalam dunia arsitektural di Indonesia menjadi abstrak dan klise. Kebanyakan dari masyarakat Indonesia yang konsumtif hanya menikmati kompleksitas ini dalam memaknai sebuah bentuk saja, namun melupakan salah satu khasanah kearsitekturan yang sangat penting, yaitu fungsi.

Dalam Perkembangannya, arsitektur di Indonesia mulai merambah menjadi sebuah kesadaran untuk bercipta dan berkarya, namun masih hanya sebatas perancangan pragmatik yang kadang melupakan detil yang kadang menjadi jawaban keluhan para pengguna bangunan. Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat melahirkan sebuah karya arsitektur yang kompleks namun jalan beriringan sesuai koridor tanpa adanya sebuah chaos. Penelitian mengenai kondisi fisik bangunan merupakan kegiatan meneliti di bidang ilmu arsitektur untuk mendapatkan ukuran kuantitatif yang kemudian dapat dikonversi menjadi fungsi kualitatif dalam perancangan tematik sebuah bangunan. Hal ini kemudian dilakukan untuk mendapatkan data dan membandingkan data tersebut dengan standar yang ada, untuk mencapai tingkat kenyamanan ruang bagi manusia.

Dalam skema berfikir tematik arsitektur ada banyak hal yang perlu diperhatikan dalam perancangan sebuah bangunan, antara lain dalam mentransformasikan bentuk dari sebuah fungsi. Kadang kita sebagai perancang harus berfikir berbalik, “bagaimana ketika kita yang menjadi pengguna awam yang seperti menikmati ruang baru?”. Dalam sebuah pengalaman manusia dalam merasakan hal baru ini biasa disebut dengan sensasi. Sensasi meliputi fungsi visual, audio, penciuman dan pengecapan, serta perabaan, keseimbangan dan kendali gerak. Kesemuanya inilah yang sering disebut indera. Jadi dapat dikatakan bahwa sensasi adalah proses manusia dalam menerima informasi sensoris (energi fisik dari lingkungan) melalui penginderaan dan menerjemahkan informasi tersebut menjadi sinyal-sinyal neural yang bermakna. Misalnya, ketika manusia (dengan menggunakan indera visual, yaitu mata) melihat sebuah bangunan tinggi, maka ada gelombang cahaya dari benda itu yang ditangkap oleh organ mata, lalu diproses dan ditransformasikan menjadi signal-signal di otak, yang kemudian diinterpretasikan sebagai “bangunan tingkat tinggi”. Dan begitu pula dalam proses melalui indera lainnya.

PERSEPSI VISUAL DAN PENCAHAYAAN (LIGHTING)

Melihat adalah sebuah proses inderawi dari organ mata yang dapat melahirkan beragam informasi yang dicerna otak dan menjadi cikal bakal lahirnya sebuah persepsi yang memengaruhi aktifitas dan kinerja manusia. Melalui sebuah persepsi, manusia memandang dunianya. Persepsi harus dibedakan dengan sensasi. Sensasi merupakan fungsi fisiologis, dan lebih banyak tergantung pada kematangan dan berfungsinya organ-organ sensoris.

Dalam ilmu psikologi dan kognitif, persepsi diartikan sebagai proses untuk memperoleh, menginterpretasi, memilih dan mengorganisasi informasi yang berhubungan dengan panca indera (stimulus). Kata persepsi ‘perception’ berasal dari bahasa latin “capere” yang berarti ‘to take’ atau mengambil makna awal secara lengkap ‘completely’. Persepsi merupakan salah satu elemen dalam proses komunikasi yang berarti makna lisan atau tulisan yang diberi oleh penghantar kepada penerima, dipengaruhi perkara yang dilihat, pengalaman, sistem nilai dan tahap kematangan seseorang. Ada tiga jenis persepsi yang harus diketahui kaitannya dengan penelitian visual dan pencahayaan ini, yaitu:

1.      Amodal Perception, adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan persepsi struktur fisik secara penuh disaat hanya sebagian yang dideskripsikan. Sebagai contoh meja akan dipersepsikan sebagai struktur volumetrik yang lengkap meskipun hanya sebagian dari meja yang terlihat.

2.      Colour Perception, adalah kemampuan mempersepsi warna yang ada pada tubuh mamalia melalui color receptors yang berisi pigmen-pigmen dengan spectral sensitivities yang berbeda.

3.      Depth Perception, adalah kemampuan visual untuk mempersepsi dunia dalam wujud tiga dimensi. Depth Perception memberikan kemampuan untuk melihat gambaran objek pada jarak tertentu secara akurat.

Hubungan sudut pandang dengan jarak objek pengamatan amat berpengaruh sekali bagi pengguna ruang kelas. Hal ini berhubungan langsung dengan tingkat kenyamanan visual dan apresiasi pengguna kelas.

Persepsi adalah sebuah proses dimana seseorang memperoleh informasi dari lingkungan sekitar. Persepsi merupakan suatu hal yang aktif. Persepsi memerlukan pertemuan nyata dengan suatu benda dan juga membutuhkan proses kognisi serta afeksi. Persepsi membantu individu untuk menggambarkan dan menjelaskan apa yang dilakukan oleh individu. Persepsi seseorang dapat menjelaskan teori tentang desain arsitektur yang mendasarinya. Banyak arsitek tidak tahu tentang teori-teori persepsi tersebut.

Ada dua dasar teori persepsi. Pertama, terfokus pada penerimaan dari pengalaman indera dan yang lainnya pada pikiran sebagai sistem yang aktif dan saling berhubungan. Sebenarnya telah banyak penelitian mengenai cara kita melihat sesuatu yang sama dalam kehidupan sehari-hari bisa menjadi berbeda karena selalu dipengaruhi oleh situasi sosial dimana kita melihatnya. Sehingga disarankan bagi para arsitek, yang memang menggeluti wilayah seni visual, bahwa kontribusi sosial terhadap seni (art) dapat memodifikasi cara pandang arsitek dalam memandang dunia. Sama halnya seperti dunia menentukan bagaimana arsitek seharusnya memandang seni (venustas) bukan hanya dalam wujud (firmitas) dan fungsi (utilitas).

Kompleksitas selain sebagai prinsip-prinsip umum persepsi yang tak kasat mata juga merupakan prinsip penilaian relatif (relative judgement)  atau pengaruh dari konteks terhadap hal yang dialami. Ini berarti bahwa tiap prinsip dalam teori-teori persepsi  belum tentu bisa dijelaskan berdasarkan hokum-hukum alam. Ada empat teori mengenai persepsi yang diuraikan, yaitu : teori Gestalt, teori Steven’s Power, teori Transaksional dan teori Ekologi.

Dalam teori Gestalt, hal paling dasar yang paling perlu diperhatikan adalah konsep tentang form, yaitu suatu elemen yang terstruktur dan tertutup dalam pandangan visual seseorang. Ada enam properti yang dapat mempengaruhi persepsi dari form. Keenam properti dasar itu sangat penting dalam teori desain arsitektur, karena properti tersebut memberitahu bagaimana unit-unit dari lingkungan dapat diamati. Properti-properti tersebut dikenal juga sebagai “hokum-hukum” dari Proksimitas (kedekatan jarak), Similaritas (kesamaan bentuk), Closure (ketertutupan unit visual), Good Continuance (Kesinambungan), Area and Simmetry (bidang dan simetri), Figure and Ground (bentuk dan latar). Teori Gestalt menyimpulkan bahwa persepsi-persepsi diorganisasikan ke dalam bentuk-bentuk (figures) dan latarnya. Pola garis-garis, bidang-bidang, dan obyek-obyek terlihat memiliki “kualitas dinamis” tertentu. Mereka seperti dapat bergerak, punya berat atau malah bisa terkesan ringan, menyenangkan atau menyedihkan.

Teori Steven’s Power  (1975) menunjukkan banyak kasus mengenai penilaian-penilaian psikologis yang berhubungan satu sama lain dengan fenomena fisik dinilai berdasarkan rasio. Contohnya, penilaian terhadap terang relatif yang bersumber dari dua sumber cahaya dapat dibuat lebih mendekati keadaan sesungguhnya, sedangkan penilaian terhadap terang absolut justru seringkali keliru. Konsekuensinya adalaha bertambahnya stimulus fisik secara kuantitatif dapat mengakibatkan perubahan yang relatif lebih besar dan ini diperlukan agar dapat dibedakan secara persepsional. Hal khusus yang membantu kita memahami implikasi-implikasi teori Steven adalah pendapat Stevens dan para koleganya tentang stimulus no-fisik. Dia menunjukkan bahwa para kriminal diberi hukuman yang beratnya berhubungan dengan fungsi power. Semakin tinggi tingkat kriminalitasnya semakin berat hukumannya. Faktanya, hal ini terjadi juga dalam fenomena fisik sehingga dapat disimpulkan bahwa ; 1) penilaian persepsi tidak terisolasi (berdiri sendiri) dari penilaian psikologis, dan 2) hal ini menggambarkan hubungan relatif antar stimulus yang menjadi faktor penting dalam menentukan penilaian.

Teori Transaksional menjelaskan tentang peranan pengalaman persepsi dan menekankan hubungan dinamis antara manusia dan lingkungan. Persepsi merupakan transaksi dimana lingkungan dan pengamat saling bergantung satu dengan yang lainnya. William Ittelson (1960) mendefinisikannya sebagai berikut :

Persepsi adalah bagian dari proses yang hidup, dimana setiap orang, dari sudut pandangnya masing-masing menciptakan dunianya.., dalam mencapai suatu kepuasan.

Teori Transaksional pun membuat beberapa asumsi tentang proses persepsi, seperti dinyatakan sebagai berikut.

§  Persepsi bersifat multimodal

§  Persepsi adalah proses aktif, bukan pasif

§  Persepsi tidak dapat dijelaskan dengan memisahkan perilaku ke dalam pengamat dan yang diamati

§  Persepsi tak dapat dijelaskan sebagai respon yang terkondisi terhadap stimulus

§  Hubungan manusia-lingkungan adalah dinamis

§  Citra lingkungan tergantung pada pengalaman masa lalu pengamat, dan juga tergantung pada motif dan sikap masa kini

§  Pengalaman masa lalu terproyeksikan ke situasi masa kini dalam hubungannya dengan kebutuhan seseorang

§  Persepsi diatur dan diperintah oleh harapan-harapan dan kecenderungan.

Donald Appleyard, seorang arsitek, mencata apa yang substansial menjadi dasar pandangan para transaksionalis, yang secara langsung lebih merujuk pada posisi Jerome Bruner (1966) ketimbang posisi Ittelson (Appleyard, 1973). Dia mengkategorikan informasi persepsional ke dalam 3 kategori, yaitu:

a.      Operational, informasi yang dibutuhkan seseorang untuk mencapai tujuannya

b.      Responsive, berupa karakteristik-karakteristik yang berbeda dan sangat mengganggu hingga menimbulkan suatu tindakan tertentu.

c.      Inferential, informasi yang membentuk sistem coding untuk mengenali elemen-elemen yang ada di dunia.

Kontribusi penting dari teori transaksional terhadap teori desain arsitektur adalah, pengalaman membentuk orang untuk member perhatian kepada lingkungan dan kepada apa yang penting bagi dirinya. Teori estetik positif mana pun pasti mengakui hal ini, dan mengingatkan bahwa memandang dunia sebagai sebuah lingkungan, berbeda dari sekedar memandangnya sebagai obyek, meskipun bisa dianggap demikian. Namun masih banyak bidang-bidang penelitian persepsi yang dapat memperkaya teori desain arsitektur tidak bisa dijelaskan oleh teori Gestalt, Steven dan Transaksional. Sebuah teori persepsi yang agak kontradiktif yaitu teori ekologi berusaha menjawab hal ini.

Pendekatan Teori Ekologi sangat radikal dalam membahas MASALAH PERSEPSI (Cutting, 1982). Pendekatan ini sangat kontradiktif terhadap teori Gestalt mengenai isomorphism dan interpretasi transaksional tentang peran pengalaman persepsi. Ketimbang menganggap panca indera sebagai saluran dan sensasi-sensasi, teori ini memandang panca indera hanya sebagai sistem persepsi (Gibson, 1966). Hipotesa bahwa struktur cahaya, gelombang suara, dan sumber persepsi lainnya dapat menyampaikan informasi tentang dunia secara langsung tanpa harus merekonstruksi “data sensoris yang tidak bermakna” merupakan hal yang kontroversial. Dalam hubungannya dengan persepsi visual, Gibson mencatat selama lingkungan diterangi, berkas-berkas cahaya yang berkumpul pada sebuah titik dibentuk dari wajah dan permukaan bidangnya. Ketika seseorang bergerak, bentuknya pun berubah. Gibson beranggapan ada informasi dalam bentuk ini yang perubahannya secara langsung dipersepsikan, tidak peduli tingkat penerangannya, kecuali bahwa detail bentuk mulai hilang pada tingkat penerangan yang rendah.

Orang menyelidiki lingkungan untuk mempersepsikan detail-detail dengan menggerakkan mata, kepala dan tubuhnya. Dengan pengalamannya, orang mampu mengidentifikasi detail-detail terhalus dan hubungan-hubungan terluas (Gibson dkk, 1955). Dengan pengalamannya, orang belajar member perhatian terhadap detail yang sebelumnya tidak terlihat olehnya. Setiap gerakan normatif dalam desain arsitektur membawa perhatian orang ke beberapa variable tertentu.

Berbeda dengan sensasi, persepsi merupakan sebuah proses yang aktif dari manusia dalam memilah, mengelompokkan, serta memberikan makna pada informasi yang diterimanya. Bangunan tinggi akan memberikan sensasi bangunan tingkat tinggi, tapi orang tertentu akan merasa kecil ketika melihat bangunan itu (fenomena Bigness), misalnya. Jadi bayangkan, dalam kehidupan sehari-hari ada begitu banyak pengalaman perseptual yang sangat mungkin terjadi.

Dalam proses penginderaan ini pencahayaan menempati urutan pertama, khususnya dalam pengalaman visual. Pencahayaan dibagi dua berdasarkan sumbernya, yaitu pencahayaan alami yaitu bersumber dari cahaya matahari dan pencahayaan buatan yang berasal dari sumber cahaya buatan manusia yang dikenal dengan lampu atau luminer. Pada cuaca yang kurang baik dan malam hari, pencahayaan buatan sangat dibutuhkan. Perkembangan teknologi sumber cahaya buatan memberikan kualitas pencahayaan buatan yang memenuhi kebutuhan manusia (Lechner, 2001, p.472).

Pencahayaan buatan membutuhkan energi untuk diubah menjadi terang cahaya. Segi efisiensi menjadi pertimbangan yang sangat penting selain menjadikan pencahayaan buatan sesuai dengan kebutuhan manusia. Pencahayaan buatan yang efisien mempunyai fokus kepada pemenuhan pencahayaan pada bidang kerja. Satwiko (2004) menyatakan pentingnya mengarahkan cahaya ke titik yang membutuhkan pencahayaan sebagai prioritas.

PENCAHAYAAN BIDANG KERJA

Berapa banyak cahaya yang diperlukan?

Setiap pekerjaan memerlukan tingkat pencahayaan pada permukaannya. Pencahayaan yang baik menjadi   penting   untuk   menampilkan   tugas   yang   bersifat   visual.   Pencahayaan   yang   lebih   baik akan membuat orang bekerja lebih produktif. Membaca buku dapat dilakukan dengan 100 samapai 200 lux. Hal ini merupakan pertanyaan awal perancang sebelum memilih tingkat pencahayaan yang benar. CIE (Commission International de l’Eclairage) dan IES (Illuminating Engineers Society) telah menerbitkan tingkat pencahayaan yang direkomendasikan untuk berbagai pekerjaan. Nilai- nilai   yang   direkomendasikan   tersebut   telah   dipakai   sebagai   standar   nasional   dan   internasional bagi perancangan pencahayaan (Tabel diberikan dibawah). Pertanyaan kedua adalah mengenai kualitas cahaya. Dalam kebanyakan konteks, kualitas dibaca sebagai perubahan warna.

Permukaan yang berkaitan dengan bidang kerja adalah permukaan yang menjadi area penglihatan selama bekerja. Dalam teori iluminasi pada bidang kerja, desainer perlu mengetahui berapa tinggi bidang kerja yang akan mendapatkan pencahayaan optimum kemudian mengukur berapa besar area bidang kerja yang perlu diberi pencahayaan optimum dan area yang hanya perlu pencahayaan umum. Dengan demikian, diharapkan pencahayaan menjadi efisien, seperti yang ditunjukkan pada gambar.

Beberapa faktor yang perlu dihindari untuk mendapatkan kenyamanan penglihatan pada bidang kerja dalam IESNA (2000) :

(1) Silau (Glare)

Terdapat dua buah silau disability glare dan discomfort glare. Disability Glare adalah silau yang menyebabkan mata tidak mampu melihat apapun akibat dari pancaran sinar yang besar ke arah mata seperti ditunjukkan Gambar 2.2, salah satu contoh saat melihat ke arah sinar matahari langsung. Untuk menghindari masalah ini, letak luminer tidak berada langsung pada area penglihatan atau luminer diberi pengarah agar cahaya yang dikeluarkan menjadi lebih lembut.

Discomfort Glare adalah silau yang ditimbulkan akibat pantulan sinar terhadap bidang kerja atau unsur-unsur di sekitarnya yang menuju mata. Umumnya masalah potensi silau (discomfort glare) berasal dari unsur-unsur yang berada pada bidang kerja (lihat Gambar 6 bagian a). Tetapi juga dapat disebabkan oleh unsur-unsur di sekitar bidang kerja seperti material pembatas ruang (dinding, plafond dan lantai).

2) Bayangan (Shadow)

Gambar 6 bagian b menunjukkan pembayangan terjadi karena pancaran sinar cahaya ke bidang kerja tertutupi oleh suatu obyek (tangan). Hal ini terjadi juga karena pancaran sinar terlalu kuat sementara tidak terdapat sumber cahaya dari arah lain yang dapat mengurangi efek pembayangan tersebut. Cara yang termudah adalah meletakkan sumber cahaya dari arah yang tidak tertutupi oleh obyek baik dari obyek tetap atau bergerak.

(3) Cahaya Kejut (Flicker)

Flicker adalah ketidakstabilan suplai cahaya yang dihasilkan sumber cahaya yang menyebabkan perubahan intensitas cahaya dengan cepat. Akibat dari perubahan yang cepat, mata harus beradaptasi dengan cepat pula sehingga terjadi ketidaknyamanan. Beberapa sumber cahaya mempunyai kekurangan ini dan juga dapat disebabkan suplai tegangan listrik yang kurang stabil. Flicker dapat diminimalisasi dengan memilih sumber cahaya yang mempunyai resiko kecil terjadi flicker. Lampu CFL termasuk sumber cahaya yang kecil terjadi flicker.

PENCAHAYAAN PADA RUANG BIDANG KERJA

Pada suatu pengalaman melihat, terdapat aspek-apek hue (rona warna), saturation (saturasi), brightness (kecerahan) dan form (bentuk) yang memberikan sensasi kepada otak. Beberapa penelitian mengenai pengalaman melihat ini kebanyakan hanya menerangkan pola aktivitas dalam jalur indera yang kemudian menjadi “bahan mentah” untuk kita alami dalam mengamati kekayaan visual dari sebuah karya seni yang masih abstrak, wajah seorang wanita atau menyaksikan sebuah percakapan dalam televisi, terjadi proses aktif pada indera untuk merubah input menjadi sesuatu yang kita alami. Pengamatan semacam itu seperti pengalaman mengenal dunia, bersumber dari input indera ditambah dengan cara kita memproses informasi indera tersebut.

Kontras terang juga merupakan faktor penting dalam proses melihat. Kontras terang adalah perbandingan tingkat iluminasi antara bidang kerja dengan daerah di sekelilingnya. Dengan pengendalian kontras yang tepat dapat mengurangi pengaruh dari silau dan kelelahan pada mata. Kontras terang yang baik dapat menghasilkan color ambience (suasana warna) yang berkualitas. Secara umum tingkat kontras area kurang lebih sepertiga dari pencahayaan bidang kerja (Fordergemeinscaft Gutes Licht,2008).

Beberapa luminer yang disusun demikian rupa akan bekerjasama menghasilkan pencahayaan yang membentuk combined ncandescent. Combined ncandescent ini juga akan sangat menguntungkan (efisiensi) dan membantu mengatasi masalah silau.

Rumus yang berkaitan pencahayaan bidang kerja, berdasarkan kepada sudut yang jatuh pada titik kerja dari beberapa luminer adalah sebagai berikut:

ET = I1/d1 2Cosß + …+ In/dn 2Cosß lux

ET = Iluminasi total, lux (lumen/m2)

I1…In = Intensitas Sumber Cahaya ke suatu titik

d1…dn = Jarak dari Sumber Cahaya ke suatu titik

ß1…ß2   = Sudut ncandesendt cahaya

Selain itu, elemen-elemen dalam ruang juga mempengaruhi terang cahaya dari suatu sumber cahaya. Dalam disain interior (Suptandar,1999, p. 217) menyebutkan elemen-elemen tersebut adalah:

a.                Kondisi ruang (tertutup atau terbuka)

b.                Letak penempatan lampu

c.                Jenis dan daya lampu

d.                Jenis permukaan benda-benda dalam ruang (memantulkan atau menyerap)

e.                Warna-warna dinding (gelap atau terang)

f.                 Udara dalam ruang

g.                Pola photometri lampu.

Faktor-faktor dalam ruang dan teknologi pencahayaan merupakan kombinasi perencanaan bidang kerja penglihatan yang nyaman.

KARAKTERISTIK SUMBER CAHAYA DAN PENGARUH CAHAYA

Sumber cahaya adakalanya saling mendukung namun pada kondisi tertentu kadang pula dapat merugikan dalam hal kualitas pencahayaan untuk pengguna menurun. Cahaya alami dan buatan yang saling mendominasi kadang melahirkan distorsi cahaya maupun gangguan lainnya. Gangguan ini jelas berpengaruh dengan suasana hati dari pengguna, ada kemudian nilai kualitatif yang tidak dapat dihitung, yaitu sensasi yang dilahirkan dari gangguan cahaya yang dapat diukur. Kedua variabel ini sangat erat kaitannya satu sama lain, dan kemudian perlu diketahui pada tingkatan intensitas cahaya bagaimana yang dapat melahirkan efek distorsi yang dapat memengaruhi pengguna dalam hal ini proses penerimaan materi di ruang kuliah. Nilai yang dapat terukur ini kemudian menjadi pembanding terhadap standar ruang sesuai fungsinya.

JENIS SUMBER CAHAYA

Satwiko dalam Ilmu Fisika Bangunan (2004, p. 69) membagi jenis sumber cahaya dalam tiga golongan –selain sumber cahaya alami- sebagai berikut:

(1)   Lampu Pijar Cahaya dihasilkan oleh filament dari bahan tungsten yang berpijar karena panas. Efikasi lampu rendah 8-10 % ncand yang menjadi cahaya. Sisa ncand terbuang dalam bentuk panas. Lampu Halogen termasuk dalam golongan ini.

(2)   Lampu Fluorescent Cahaya dihasilkan oleh pendaran bubuk fosfor yang melapisi bagian dalam tabung lampu. Ramuan bubuk menentukan warna cahaya yang dihasilkan. Lebih dari 25 % ncand menjadi cahaya.

(3)   Lampu HID (High-Intensity Discharge) Cahaya dihasilkan oleh lecutan listrik melalui uap zat logam. Termasuk dalam golongan ini adalah lampu Merkuri, Metal Halida dan Sodium Bertekanan.

Masing-masing golongan memiliki kelebihan tersendiri. Lampu pijar lebih hangat karena sebagian 90% ncand menjadi panas dan warnanya kekuningan, sesuai untuk kegiatan santai atau istirahat. Lampu Fluorescent mempunyai sinar yang terang dan putih, sesuai untuk kegiatan kerja dengan penglihatan. Sedangkan, lampu HID lebih efisien, sesuai untuk penerangan umum


STANDAR KUAT PENERANGAN RUANG DALAM

Ø    Berdasarkan SKSNI T-14-1993-03

 

Macam Pekerjaan

Lux

Contoh

Pencahayaan untuk daerah yang tidak terus menerus dipergunakan

20

50

 

 

100

·        Iluminasi minimum

·        Parkir dan daerah sirkulasi di dalam ruangan

·        Kamar tidur di hotel

Pencahayaan untuk bekerja di dalam ruangan

200

 

 

350

 

 

 

400

·        Membaca dan menulis yang tidak terus menerus

·        Pencahayaan umum untuk perkantoran, pertokoan, membaca, dan menulis

·        Ruang gambar

Pencahayaan setempat untuk pekerjaan yang teliti

750

 

1000

 

2000

·        Pembacaan untuk koreksi tulisan

·        Gambar yang sangat teliti

·        Pekerjaan secara rinci dan presisi

  

Ø  Berdasarkan Standar Industri Jerman DIN 5035

Teknik Pencahayaan dan Tata Letak Lampu

 

Macam Pekerjaan

Lux

Tingkat cahaya minimum untuk bekerja

 

250

Tingkat cahaya yang diperlukan untuk pekerjaan kasar dalam industry

 

300

Untuk pekerjaan bengkel, took, kantor, toserba, dan sebagainya yang sejenis

 

500-750

Untuk pekerjaan presisi, elektronika, pencampuran warna, perakitan jam, pekerjaan yang membuat perhiasan dari emas, dan sebagainya yang memerlukan ketelitian

 

1000-1500

Tingkat kuat penerangan maksimum dalam satu ruang ruangan kerja

2000

 

Ø  Berdasarkan ESI (Equal Sphere Illumination)

Teknologi Pencahayaan

Jenis bangunan atau tempat

Lux

Sekolah

Tempat membaca:

          Buku cetakan

          Tulisan pensil

          Hasil foto copy yang bagus

          Hasil foto copy yang jelek

Kelas:

          Papan tulis

          Ruang gambar

          Laboratorium

Ruang kuliah:

          Umum

          Kelas baca, peragaan, dan demonstrasi

          Bengkel

          Aula

          Koridor

          Perpustakaan

 

 


300


750


300


1000

 


1600


1000


1000

 



750


1600 


1000


750


200


750

(*) Digunakan di negara-negara Eropa pada umumnya


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Revolusi Matahari dan Rotasi Bumi

Perkembangan Teori Tata Surya Awal mula kelahiran teori mengenai tata surya melalui banyak perd ebatan yang melibatkan para filsu f, ilmuwan astronom hingga pemuka agama.   Bahkan perdebatan ini mulai lahir jauh sebelum dikenalkannya ilmu pengetahuan, seperti di beberapa peradaban kuno dunia seperti Mesir, Mesopotamdia, India hingga Yunani.   Kemudian terus berkembang hingga pada abad ke-13 SM seorang filosof Yunani Aristarchus dari Samos sudah menyatakan gagasan-gagasannya mengenai planet-planet yang berputar mengelilingi matahari.   Namun seiring berkembangnya gagasan tersebut tidak terlepas dari perdebatan mengenai pandangan geosentris yang menyatakan paham bahwa bumi dan manusia adalah pusat dari seluruh alam semesta, seluruh benda yang ada di jagat raya berputar mengelilingi bumi tak terkecuali matahari. Kemudian pada abad ke 8 M hingga abad ke 13 M paham mengenai geosentris dari filosof Klaudiusz Ptolemaeus berkembang dan terus dikaji oleh ilmuwan-ilmuwan di Arab salah satunya ya

Dasar-dasar Warna

W arna dapat dijelaskan melalui dua perspektif berdasarkan proses terbentuknya yaitu secara fisik alami (keadaan warna itu sendiri) dan pigmentasi gelombang cahaya.   Warna dasar terbagi tiga yaitu biru merah kuning yan g lazim disebut warna primer, sedangkan turunannya jika dicampur antara kuning-biru, biru-merah dengan merah-kuning sesuai urutan hasilnya menjadi hijau, ungu, jingga, yang kemudian disebut warna sekunder.  Sc. Pinterest Kemudian jika warna primer dan sekunder dicampurkan selang-seling sesuai lingkar warna diatas akan menghasilkan warna tersier. Contoh kuning primer ditambahkan jingga sekunder menjadi jingga peach tersier. Begitu pun seterusnya hingga terbentuk lingkaran warna sempurna. Lingkaran Warna Primer, Tersier dan Sekunder Sc. ( www.publicdomainpictures.net/view-image.php?image=26890&picture=color-wheel ) Kemudian sering kita dengar istilah-istilah  pengkombinasian warna seperti  triadic , complementary,  analogous,   split-komplementer, rec