Langsung ke konten utama

Arsitek dan Energi

Pemanfaatan Energi Matahari

Saat ini kebutuhan energi, khususnya energi listrik (energi listrik adalah energi yang mudah dikonrversikan ke dalam bentuk energi yang lain) terus meningkat dengan pesat, bahkan di luar estimasi yang diperkirakan. Hal ini sudah selayaknya sebagai dampak meningkatnya seluruh aktivitas kehidupan yang menggunakan energi listrik. 

Selama ini kebutuhan energi di Indonesia bahkan kebutuhan energi di dunia masih mengandalkan minyak bumi sebagai penyangga utama kebutuhan energi. Sementara itu tidak dapat dihindarkan bahwa sumber energi ini semakin langka dan mahal harganya. Bagi Indonesia masalah energi menjadi lebih penting lagi artinya dan perlu mendapatkan penanganan yang khusus karena : 

1. Lebih kurang 80 % kebutuhan energi di Indonesia dipenuhi oleh minyak bumi (data 2002)
2. Harga minyak dan Konsumsi minyak bumi yang cenderung meningkat dengan pesat setiap tahun. 
3. Banyaknya sumber-sumber alternatif di Indonesia yang perlu dikembangkan. 

Ada kenyataan yang sulit dibantah, setengah dari 220 juta jiwa penduduk negeri ini belum menikmati penerangan listrik. Banyak alasan yang menjadikan demikian. Mulai dari ketidakmampuan pemerintah menyediakan jaringan listrik, hingga harga yang sulit terjangkau oleh warga. Sistem penerangan paling murah yang mungkin dimiliki masyarakat daerah terpencil adalah lampu cempor atau yang biasa dikenal dengan lampu minyak yang menggunakan bahan bakar minyak tanah. Mengingat besarnya investasi yang harus dikeluarkan untuk membangun jaringan sistem kabel, PLN kini mulai menempuh cara baru, yakni mengembangkan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya). PLTS lebih diperuntukkan bagi warga desa yang belum tersentuh jaringan listrik. Pertimbangannya, meski dari sisi biaya investasi masih relatif tinggi, namun jika dibandingkan dengan membangun jaringan kabel, pengembangan PLTS lebih memungkinkan. Cara kerja PLTS cukup sederhana. Pancaran sinar matahari ditangkap oleh sebuah panel dan diubah menjadi energi listrik. Energi itu disimpan dalam sebuah baterai (aki) yang bisa digunakan sebagai sumber penerangan pada malam hari atau saat tak ada sinar matahari. Kemampuan energi yang dapat dibangkitkan oleh sebuah panel surya sangat bergantung kepada kondisi radiasi sinar matahari. Sistem PLTS adalah sistem arus searah (DC) sehingga peralatan yang digunakan harus disesuaikan dengan arus searah tegangan nominal 12/24 volt.


Pemanfaatan Cahaya Matahari

Seiring berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan, teknologi pun terus bergerak maju menciptakan inovasi dalam memenuhi kebutuhan manusia. Namun perkembangan teknologi yang selaras dengan kebutuhan tapi tidak dibarengi pengetahuan mengenai lingkungan membuat manusia harus berpikir ulang, bahwa alam menyediakan energi berlimpah yang dapat dimanfaatkan secara gratis. Salah satu sumber energi terbesar yang dapat dimanfaatkan adalah matahari. Potensi terbesar dari matahari yang paling nyata adalah cahaya yang berlimpah ruah pada siang hari. Dari cahaya alami yang berlimpah ruah ini bila dimanfaatkan dapat menghemat energi fosil yang dapat habis apabila digunakan secara terus menerus.

Arsitek sebagai perencana dan perancang haruslah jeli melihat masalah dari isu-isu lingkungan yang muncul berkaitan dengan penghematan energi. Peran arsitek dalam hal ini adalah mencari jalan keluar dengan menghindari pemakaian energi konvensional berlebihan.Salah satu jalan yang dapat ditempuh yaitu memanfaatkan pencahayaan alami dengan melihat potensi iklim sekitar tapak. Tidak hanya melihat potensi tapak dari segi efisiensi penggunaan luas lahan, tapi juga mempertimbangkan segi orientasi bangunan terhadap matahari untuk menjamin kenyamanan bagi pengguna bangunan kelak.

Pergerakan matahari biasanya diamati pada posisi stasioner seorang pengamat di bumi. Pada umumnya matahari terlihat bergerak dari arah timur ke barat. Namun sebenarnya matahari tidak bergerak dan bumi lah yang bergerak mengitari matahari. Asumsi ini berdasar pada teori heliosentris mengenai tata surya dari ilmuwan dan filsuf Nicolaus Copernicus yang menyatakan bahwa matahari bersifat stasioner dan berada pada pusat alam semesta. Rotasi bumi apabila dilihat dari tampak atas dengan kutub utara sebagai titik pusatnya, bumi berputar berlawanan arah jarum jam atau dari arah mata angin berurutan: utara, barat, selatan, timur. Bumi pun tidak berotasi tegak lurus terhadap normal bidang ekliptika. Sumbu rotasi bumi membentuk sudut 23,5º terhadap normal bidang revolusinya. Itulah yang menyebabkan variasi penyebaran sudut jatuh sinar matahari sepanjang waktu di berbagai belahan bumi. Penampakan matahari yang bergerak dari khatulistiwamenuju garis lintang balik utara 23½º LU lalu kembali ke arah khatulistiwa kemudian bergeser ke garis lintang selatan 23½º lalu kembali lagi ke khatulistiwa, ini merupakan gerak semu matahari. Indonesia mendapatkan pancaran sinar matahari sepanjang tahundengan sudut jatuh yang beragam bergantung pada letak astronomis daerah dan posisi harian, bulanan matahari dalam setahun.

Dengan melihat potensi matahari berupa cahaya yang berlimpah ruah pada pagi hingga siang hari tentunya kemudian membuat kita berfikir bagaimana cahaya dapat dimaksimalkan masuk ke dalam bangunan tanpa terganggu oleh sinar matahari langsung yang dapat membawa panas dan menyilaukan mata. Ada beberapa strategi dalam perancangan bangunan yang lazim dan sering digunakan untuk mengatasi masalah tersebut antara lain penggunaan atappeneduh/tritisan hingga penggunaan tirai. Namun, dalam penerapan strategi ini kadang menutupi cahaya masuk ke dalam bukaan bahkan pada waktu tertentu justru sinar matahari yang menyilaukan jadi leluasa masuk ke dalam bangunan yang mengakibatkan panas dan silau pada mata. Akhirnya terjadi sebuah kondisi tidak nyaman bagi pengguna.

Strategi perletakan sebuah komponen dalam arsitektur tentu harus berdasarkan orientasi pada lingkungan. Dalam kaitannya ini menyangkut orientasi bangunan, pola lintasan matahari pada daerah tertentu, perletakan bukaan hingga penentuan strategi penghalang sinar matahari yang masuk dari bukaan.

Dalam konsep perancangan tugas akhir karya mahasiswa arsitektur yang sering kita temui, standar pengolahan tapak khususnya orientasi matahari yang digunakan hanya sebatas arah mata angin.  Matahari yang terbit di sebelah timur dan terbenam di sebelah barat. Sedangkan pada kenyataannya matahari memiliki sudut tertentu pada jam-jam tertentu, azimuth, altitude hingga deklinasi yang berdasar pada letak astronomis yang memiliki nilai mutlak. Dan pada bulan tertentu jarak matahari ke bumi sangat dekat sehingga menghasilkan nilai radiasi dan luminan yang berbeda pada sudut datang berbeda pula. Hasil dari analisis ini memerlukan data yang akurat kedepannya untuk menciptakan karya arsitektural dengan pendekatan lingkungan dan sesuai standar yang berlaku.

Namun pada perspektif lain mengenai standar yang ditetapkan diantaranya Standar Nasional Indonesia (SNI) SNI 03-2396-1991 mengenai Tata Cara Perancangan Alami Siang Hari untuk Rumah dan Gedung, SNI 03-6197-2000 mengenai Konservasi Energi Sistem Pencahayaan pada Bangunan dan RSNI 03-2396-2001 mengenai Tata Cara Perancangan Sistem Pencahayaan Alami pada Bangunan Gedung dinilai tidak berlaku universal, mengingat wilayah Indonesia merupakan wilayah kepulauan yang luas. Standar yang ditetapkan pada satu daerah belum tentu dapat diterapkan pada daerah lain. Selain SNI, pada Peraturan Pemerintah juga ditinjau lebih menekankan aspek prosedural dan administratif tata bangunan. Aspek teknis mengenai kelayakan dan kenyamanan pada bangunan gedung lagi-lagi mengacu pada Standar Nasional Indonesia yang dimana SNI ini justru mengambil acuan dari organisasi internasional terkait masalah konservasi energi seperti BOCA (Intenational Energy Conservation Code), tentu ini menjadi masalah yang lebih kompleks lagi. Maka dari itu daya nalar seorang Arsitek benar-benar diuji oleh pengetahuan tentang kondisi alam yang mendalam secara kontekstual.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Revolusi Matahari dan Rotasi Bumi

Perkembangan Teori Tata Surya Awal mula kelahiran teori mengenai tata surya melalui banyak perd ebatan yang melibatkan para filsu f, ilmuwan astronom hingga pemuka agama.   Bahkan perdebatan ini mulai lahir jauh sebelum dikenalkannya ilmu pengetahuan, seperti di beberapa peradaban kuno dunia seperti Mesir, Mesopotamdia, India hingga Yunani.   Kemudian terus berkembang hingga pada abad ke-13 SM seorang filosof Yunani Aristarchus dari Samos sudah menyatakan gagasan-gagasannya mengenai planet-planet yang berputar mengelilingi matahari.   Namun seiring berkembangnya gagasan tersebut tidak terlepas dari perdebatan mengenai pandangan geosentris yang menyatakan paham bahwa bumi dan manusia adalah pusat dari seluruh alam semesta, seluruh benda yang ada di jagat raya berputar mengelilingi bumi tak terkecuali matahari. Kemudian pada abad ke 8 M hingga abad ke 13 M paham mengenai geosentris dari filosof Klaudiusz Ptolemaeus berkembang dan terus dikaji oleh ilmuwan-ilmuwan di Arab salah satunya ya

Standar Pencahayaan Ruang Dalam

Sejarah perkembangan arsitektur di Indonesia, utamanya dalam koridor modern, tidak akan lepas dari intervensi unsur-unsur ‘luar’ dan pengaruh-pengaruh jaman dalam abstraksi yang rumit, komplek, penuh dengan koherensi, fragmentasi dan ambivalensi sekaligus. Hal ini bukan merupakan sesuatu yang asing lagi bagi sebuah negara bekas (dan masih?) jajahan seperti Indonesia. Dalam hal ini, kompleksitas yang lahir dalam dunia arsitektural di Indonesia menjadi abstrak dan klise . Kebanyakan dari masyarakat Indonesia yang konsumtif hanya menikmati kompleksitas ini dalam memaknai sebuah bentuk saja, namun melupakan salah satu khasanah kearsitekturan yang sangat penting, yaitu fungsi. Dalam Perkembangannya, arsitektur di Indonesia mulai merambah menjadi sebuah kesadaran untuk bercipta dan berkarya, namun masih hanya sebatas perancangan pragmatik yang kadang melupakan detil yang kadang menjadi jawaban keluhan para pengguna bangunan. Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat melahirkan sebua

Dasar-dasar Warna

W arna dapat dijelaskan melalui dua perspektif berdasarkan proses terbentuknya yaitu secara fisik alami (keadaan warna itu sendiri) dan pigmentasi gelombang cahaya.   Warna dasar terbagi tiga yaitu biru merah kuning yan g lazim disebut warna primer, sedangkan turunannya jika dicampur antara kuning-biru, biru-merah dengan merah-kuning sesuai urutan hasilnya menjadi hijau, ungu, jingga, yang kemudian disebut warna sekunder.  Sc. Pinterest Kemudian jika warna primer dan sekunder dicampurkan selang-seling sesuai lingkar warna diatas akan menghasilkan warna tersier. Contoh kuning primer ditambahkan jingga sekunder menjadi jingga peach tersier. Begitu pun seterusnya hingga terbentuk lingkaran warna sempurna. Lingkaran Warna Primer, Tersier dan Sekunder Sc. ( www.publicdomainpictures.net/view-image.php?image=26890&picture=color-wheel ) Kemudian sering kita dengar istilah-istilah  pengkombinasian warna seperti  triadic , complementary,  analogous,   split-komplementer, rec