Pemanfaatan Energi Matahari
Saat ini kebutuhan energi, khususnya energi listrik (energi listrik adalah energi yang mudah dikonrversikan ke dalam bentuk energi yang lain) terus meningkat dengan pesat, bahkan di luar estimasi yang diperkirakan. Hal ini sudah selayaknya sebagai dampak meningkatnya seluruh aktivitas kehidupan yang menggunakan energi listrik.
Selama ini kebutuhan energi di Indonesia bahkan kebutuhan energi di dunia masih mengandalkan minyak bumi sebagai penyangga utama kebutuhan energi. Sementara itu tidak dapat dihindarkan bahwa sumber energi ini semakin langka dan mahal harganya. Bagi Indonesia masalah energi menjadi lebih penting lagi artinya dan perlu mendapatkan penanganan yang khusus karena :
Ada kenyataan yang sulit dibantah, setengah dari 220 juta jiwa penduduk negeri ini belum menikmati penerangan listrik. Banyak alasan yang menjadikan demikian. Mulai dari ketidakmampuan pemerintah menyediakan jaringan listrik, hingga harga yang sulit terjangkau oleh warga. Sistem penerangan paling murah yang mungkin dimiliki masyarakat daerah terpencil adalah lampu cempor atau yang biasa dikenal dengan lampu minyak yang menggunakan bahan bakar minyak tanah. Mengingat besarnya investasi yang harus dikeluarkan untuk membangun jaringan sistem kabel, PLN kini mulai menempuh cara baru, yakni mengembangkan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya). PLTS lebih diperuntukkan bagi warga desa yang belum tersentuh jaringan listrik. Pertimbangannya, meski dari sisi biaya investasi masih relatif tinggi, namun jika dibandingkan dengan membangun jaringan kabel, pengembangan PLTS lebih memungkinkan. Cara kerja PLTS cukup sederhana. Pancaran sinar matahari ditangkap oleh sebuah panel dan diubah menjadi energi listrik. Energi itu disimpan dalam sebuah baterai (aki) yang bisa digunakan sebagai sumber penerangan pada malam hari atau saat tak ada sinar matahari. Kemampuan energi yang dapat dibangkitkan oleh sebuah panel surya sangat bergantung kepada kondisi radiasi sinar matahari. Sistem PLTS adalah sistem arus searah (DC) sehingga peralatan yang digunakan harus disesuaikan dengan arus searah tegangan nominal 12/24 volt.
Pemanfaatan Cahaya Matahari
Seiring berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan, teknologi pun terus bergerak maju menciptakan inovasi dalam memenuhi kebutuhan manusia. Namun perkembangan teknologi yang selaras dengan kebutuhan tapi tidak dibarengi pengetahuan mengenai lingkungan membuat manusia harus berpikir ulang, bahwa alam menyediakan energi berlimpah yang dapat dimanfaatkan secara gratis. Salah satu sumber energi terbesar yang dapat dimanfaatkan adalah matahari. Potensi terbesar dari matahari yang paling nyata adalah cahaya yang berlimpah ruah pada siang hari. Dari cahaya alami yang berlimpah ruah ini bila dimanfaatkan dapat menghemat energi fosil yang dapat habis apabila digunakan secara terus menerus.
Arsitek sebagai perencana dan perancang haruslah jeli melihat masalah dari isu-isu lingkungan yang muncul berkaitan dengan penghematan energi. Peran arsitek dalam hal ini adalah mencari jalan keluar dengan menghindari pemakaian energi konvensional berlebihan.Salah satu jalan yang dapat ditempuh yaitu memanfaatkan pencahayaan alami dengan melihat potensi iklim sekitar tapak. Tidak hanya melihat potensi tapak dari segi efisiensi penggunaan luas lahan, tapi juga mempertimbangkan segi orientasi bangunan terhadap matahari untuk menjamin kenyamanan bagi pengguna bangunan kelak.
Pergerakan matahari biasanya diamati pada posisi stasioner seorang pengamat di bumi. Pada umumnya matahari terlihat bergerak dari arah timur ke barat. Namun sebenarnya matahari tidak bergerak dan bumi lah yang bergerak mengitari matahari. Asumsi ini berdasar pada teori heliosentris mengenai tata surya dari ilmuwan dan filsuf Nicolaus Copernicus yang menyatakan bahwa matahari bersifat stasioner dan berada pada pusat alam semesta. Rotasi bumi apabila dilihat dari tampak atas dengan kutub utara sebagai titik pusatnya, bumi berputar berlawanan arah jarum jam atau dari arah mata angin berurutan: utara, barat, selatan, timur. Bumi pun tidak berotasi tegak lurus terhadap normal bidang ekliptika. Sumbu rotasi bumi membentuk sudut 23,5º terhadap normal bidang revolusinya. Itulah yang menyebabkan variasi penyebaran sudut jatuh sinar matahari sepanjang waktu di berbagai belahan bumi. Penampakan matahari yang bergerak dari khatulistiwamenuju garis lintang balik utara 23½º LU lalu kembali ke arah khatulistiwa kemudian bergeser ke garis lintang selatan 23½º lalu kembali lagi ke khatulistiwa, ini merupakan gerak semu matahari. Indonesia mendapatkan pancaran sinar matahari sepanjang tahundengan sudut jatuh yang beragam bergantung pada letak astronomis daerah dan posisi harian, bulanan matahari dalam setahun.
Dengan melihat potensi matahari berupa cahaya yang berlimpah ruah pada pagi hingga siang hari tentunya kemudian membuat kita berfikir bagaimana cahaya dapat dimaksimalkan masuk ke dalam bangunan tanpa terganggu oleh sinar matahari langsung yang dapat membawa panas dan menyilaukan mata. Ada beberapa strategi dalam perancangan bangunan yang lazim dan sering digunakan untuk mengatasi masalah tersebut antara lain penggunaan atap, peneduh/tritisan hingga penggunaan tirai. Namun, dalam penerapan strategi ini kadang menutupi cahaya masuk ke dalam bukaan bahkan pada waktu tertentu justru sinar matahari yang menyilaukan jadi leluasa masuk ke dalam bangunan yang mengakibatkan panas dan silau pada mata. Akhirnya terjadi sebuah kondisi tidak nyaman bagi pengguna.
Strategi perletakan sebuah komponen dalam arsitektur tentu harus berdasarkan orientasi pada lingkungan. Dalam kaitannya ini menyangkut orientasi bangunan, pola lintasan matahari pada daerah tertentu, perletakan bukaan hingga penentuan strategi penghalang sinar matahari yang masuk dari bukaan.
Dalam konsep perancangan tugas akhir karya mahasiswa arsitektur yang sering kita temui, standar pengolahan tapak khususnya orientasi matahari yang digunakan hanya sebatas arah mata angin. Matahari yang terbit di sebelah timur dan terbenam di sebelah barat. Sedangkan pada kenyataannya matahari memiliki sudut tertentu pada jam-jam tertentu, azimuth, altitude hingga deklinasi yang berdasar pada letak astronomis yang memiliki nilai mutlak. Dan pada bulan tertentu jarak matahari ke bumi sangat dekat sehingga menghasilkan nilai radiasi dan luminan yang berbeda pada sudut datang berbeda pula. Hasil dari analisis ini memerlukan data yang akurat kedepannya untuk menciptakan karya arsitektural dengan pendekatan lingkungan dan sesuai standar yang berlaku.
Namun pada perspektif lain mengenai standar yang ditetapkan diantaranya Standar Nasional Indonesia (SNI) SNI 03-2396-1991 mengenai Tata Cara Perancangan Alami Siang Hari untuk Rumah dan Gedung, SNI 03-6197-2000 mengenai Konservasi Energi Sistem Pencahayaan pada Bangunan dan RSNI 03-2396-2001 mengenai Tata Cara Perancangan Sistem Pencahayaan Alami pada Bangunan Gedung dinilai tidak berlaku universal, mengingat wilayah Indonesia merupakan wilayah kepulauan yang luas. Standar yang ditetapkan pada satu daerah belum tentu dapat diterapkan pada daerah lain. Selain SNI, pada Peraturan Pemerintah juga ditinjau lebih menekankan aspek prosedural dan administratif tata bangunan. Aspek teknis mengenai kelayakan dan kenyamanan pada bangunan gedung lagi-lagi mengacu pada Standar Nasional Indonesia yang dimana SNI ini justru mengambil acuan dari organisasi internasional terkait masalah konservasi energi seperti BOCA (Intenational Energy Conservation Code), tentu ini menjadi masalah yang lebih kompleks lagi. Maka dari itu daya nalar seorang Arsitek benar-benar diuji oleh pengetahuan tentang kondisi alam yang mendalam secara kontekstual.
Komentar